Rahasia Ramadan Di Kota Metropolitan

 





Oleh : Arya Kurnia

 

            Bulan ramadhan adalah bulan yang sangat dinanti-nanti oleh umat islam diberbagai penjuru dunia, tak terkecuali di Indonesia. Tak bisa dipungkiri saat ini Indonesia merupakan salahsatu negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar didunia. Bak event tahunan yang selalu ditunggu oleh para partisipan, Ramadhan juga menyimpan banyak hal yang tidak diketahui oleh banyak masyarakat awam. Kali ini saya akan menyampaikan opini yang terlihat dari sudut pandang saya sebagai seorang rakyat kecil berekonomi menengah kebawah, dimana terdapat gang rongsokan kecil tepat sebelum jalan untuk menuju rumah saya. Dan digang kecil itulah saya mengetahui banyak mengenai problematika yang mungkin juga cukup lazim ada dikota-kota besar atau kota metropolitan.

 

            Saat Ramadhan tiba, pemandangan dijalanan kota metropolitan akan berubah sedemikianrupa, disuguhkan dengan tercecernya orang-orang bertampang fakir dan memprihatinkan yang duduk rapi ditrotoar jalanan lintas kota pada jarak dan titik yang telah dibagi atau disepakati sebelumnya. Hasrat pahala  kaum menengah keataslah yang dimanfaatkan dengan baik oleh para orang-orang bertampang fakir tersebut. Mulai dari pria tua bertopi bucket hat sang pengendara becak, para pemuda gagah yang dibelakangnya lengkap dengan karung goni dan besi pengait, sampai ibu-ibu penggendong bayi yang mungkin bayi lain miliknya sedang disewa oleh beberapa teman mereka.

 

Fenomena menakjubkan selanjutnya yakni dimana dalam dines sehari dibulan ramadhan, mereka bisa meraup berlembar-lembar amplop berisi kertas dengan gambar pahlawan, bertumpuk-tumpuk beras pulen kemasan 5kg, minyak goreng refill kemasan 2 liter, gula putih dengan beraneka merek, sampai berkotak-kotak nasi dengan lauk pauk lengkap dengan minuman beserta dessertnya. Dan jika kita menyingkap lebih jauh lagi mengenai makanan, saya pernah mendapati mereka tak segan untuk membuang makanan ke sungai depan rumah saya, jika dirasa kurang cocok dilidah mereka, yang lebih memilih paket nasi lengkap dengan lauk daging untuk menjadi santapan dinner keluarga mereka.

 

Bersyukurnya saya pribadi dapat hidup ditengah kota metropolitan yang membuat saya tahu sedikit banyak tentang selukbeluk para insan bertampang fakir tersebut. Hal ini juga diperjelas lantaran ibu saya yang notabenenya pedagang sayur selalu mendapat restok dari para insan bertampang fakir dengan imbalan yang telah disepakati sebelumnya. Hal terebut dimanfaatkan oleh ibu saya untuk diberikan kepada para pelanggannya disaat hari-hari mendekati lebaran (disini kita menyebutnya persenan). Ironisnya disini, mungkin beberapa pelanggan dari ibu saya juga turut memberi atau menyedekahkan sembako-sembako yang kaum insan bertampang fakir tersebut terima dan berakhir ditangan para pelanggan ibu saya juga....

 

Saya juga pernah mendengar berita mengenai seorang ibu tiga anak yang bertempat tinggal didesa sebelah. saya tidak mengenal orangnya, akan tetapi saya tahu persis bahwa setiap siang hingga malam, ia membawa gerobak besar bersama ketiga anaknya menuju trotoar dekat rel kereta guna duduk manis menyaksikan kendaraan yang berlalulalang dan berharap setengah jam sekali datang seseorang berhati mulia memberikan sesuatu pada mereka. Uniknya, setiap tangan dari ketiga anaknya menggunakan smartphone yang kelihatannya lebih bagus daripada samsungA03s milik saya. Menurut rumor yang beredar, dia sudah beberapa kali ditertibkan oleh Satpol PP, dan ia juga pernah bekerja sebagai buruh pabrik di desa saya. Akan tetapi bagaimana kelanjutannya? Yap, orang tersebut tidak betah kerja sebagai buruh pabrik karena gaji yang tidak sebanding dengan hanya duduk  ditrotoar dekat rel kereta. Yang pada akhirnya tetap memilih untuk melanjutkan citranya didunia jalanan.

 

 

Usut punya usut, budaya mengharapkan pemberian dari orang lainpun, sebenarnya tidak hanya terjadi saat momentum bulan ramadhan tiba, akan tetapi juga banyak ditemui pada setiap hari Jumat yang mungkin orang-orang sudah mengenalnya dengan istilah “Jumat Berkah”. Agaknya, Jumat Berkah sini agak sedikit berbeda dengan fenomena-fenomena yang telah dipaparkan. Apa yang membuat berbeda? Jawabannya adalah karena perbedaan intensitas penerimanya, Jumat berkah tidak hanya dimanfaatkan oleh para insan bertampang fakir yang duduk manis ditrotoar jalanan lintas kota atau didepan masjid Agung, akan tetapi juga dimanfaatkan oleh berbagai kalangan, mulai dari para buruh pabrik yang tengah menunaikan sholat Jumat dimasjid sambil melirik tumpukan nasi kotak, lalu ada para siswa yang meluangkan waktu istirahatnya untuk menunaikan sholat Jumat sambil menunggu pembagian nasi kotak, sampai para bocil-bocil yang berkompetisi lari kearah tumpukan nasi kotak setengah detik setelah sang Imam sholat Jumat melantunkan salam keduanya,

 

Budaya menerima pemberian dari orang lain sudah mengakar pada mindset rakyat Indonesia. Apakah ada poin plusnya? Jawabannya mungkin ada. Kultur budaya dinegeri tercinta kita ini memang berbeda dengan negeri-negeri yang lain. Mungkin yang dimaksud poin plusnya disini adalah budaya saling kasih mengasihi sesama manusia, yang mungkin saja tidak ada di negeri-negeri yang lain, atau mungkin ada tetapi tidak sekental kultur budaya dinegeri ini. Apakah harus berbangga dengan kultur budaya dinegeri Indonesia ? jawabannya tentu harus. Mengapa kita harus melihat dari sudut pandang negatif, toh saya juga yakin Tuhan Yang Maha Esa tidak akan menilai seberapa kualitas atau kuantitas barang yang kita berikan pada sesama, atau sudah tepat sasarankah dalam menyedekahkan harta milik kita. Saya yakin Tuhan Yang Maha Esa jauh lebih paham mengenai hal-hal sedemikian itu.

 

Saya pribadi menyarankan kepada kaum menengah keatas yang ingin menyedekahkan harta miliknya, minimal haruslah melakukan sedikit riset mengenai daerah-daerah yang akan dijadikan tempat bersedekah, jangan mengatakan  “yailah mau sedekah aja ribet banget” hei kaum menengah atas, ketahuilah !! masih banyak orang-orang dipelosok-pelosok desa atau mungkin dipojok-pojok kampung yang lebih pantas untuk menerima sedekah dari kalian. Jika kalian berfikiran bahwa semua orang fakir akan datang ke troroar jalanan , kalian salah besar. Di luar sana masih banyak orang yang mempertahankan visi hidupnya dengan berusaha sekeras mungkin hingga meneteskan keringat terakhir mereka, dan pantang bagi mereka untuk menengadahkan tangan atau memasang wajah fakir lesu dengan duduk santai di trotoar jalan.

 

 


 

 

 

 

 

 

           

 

Komentar