Ibu dan Lembaran Monokrom

Seperti biasa, pagi ini kulalui dengan sarapan yang disediakan oleh ibu di meja makan. Aku sarapan sendiri sebelum berangkat ke sekolah. Sementara aku yakin ibu sudah berangkat ke pasar untuk belanja kebutuhan dagangan di toko. Ibuku memiliki sebuah toko kecil di depan rumah. Sungguh menyakitkan tiap kuingat mengapa toko tersebut hadir di kehidupan kami. 

Semula ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga, yang pekerjaanya selalu diremehkan orang lain. Kebanyakan hanya beranggapan bahwa pekerjaan ibu rumah tangga selalu mudah. Hanya memasak, membersihkan rumah dan mengurus anak-anaknya. Yang tidak mereka ketahui bahwasanya ibu rumah tangga bukan hanya sekadar pengurus rumah, melainkan ruh dari rumah tersebut.

Mengurus kebutuhan rumah tangga sungguh tidak mudah. Ibu harus bangun pagi-pagi untuk memasak dan membangunkan anak-anaknya untuk diajak sholat shubuh berjama’ah. Jangan kalian tanyakan di mana ayahku. Setelah memasak ibu juga harus membersihkan rumah, lalu memastikan aku dan si bungsu selesai bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Dan aku selalu sarapan terakhir, setelah ibu dan adik sarapan bersama lalu ibu mengantarkan si bungsu ke sekolah dan pergi ke pasar. 

Itulah kehidupan kami setelah tahun-tahun panjang yang kulalui dengan kekhawatiran akan pertikaian kedua orang tuaku. Ayah yang selalu menganggap remeh ibu hanya karena beliau seorang ibu rumah tangga, yang dianggapnya hanya sebagai penghabis uang Ayah dan teman bertikai di dalam rumah. Sungguh, masih kuingat bagaimana aku harus menutup telinga si bungsu dan bersembunyi di bawah kolong tempat tidur setiap ayah pulang kerja dan beradu mulut dengan ibu.

Sungguh menyakitkan melihat ibu harus berkali-kali menangis dalam diam di dalam kamar mandi, dan muncul ke hadapan kami dengan tersenyum seolah tak ada yang terjadi. Ibu hanya mengelus kepalaku dan si bungsu seraya berpesan bagaimana kami harus tetap menyayangi ayah yang tetap menjadi pahlawan kami. Pahlawan, bu? bagaimana ibu tetap menyebutnya sebagai pahlawan ketika Ibu selalu diremehkan. Persoalannya selalu sama, hanya karena materi. 

Karena itulah ibu bertekad setelah sekian lama untuk membuka toko tersebut. Agar ibu bisa menghasilkan uang sendiri untuk membiayai kehidupan sehari-hari kami. Ayah tak lagi mengajak ibu beradu mulut mengenai masalah materi, namun ayah semakin jarang pulang. Saat beliau pulang maka keadaan di rumah terasa mencekam. Ayah dan ibu perang dalam diam. Tak ada percakapan, namun akan beradu mulut hebat sekali bercakap. 

Tak dapat kubayangkan betapa menderitanya ibu. Harus tegar di depan anak-anaknya. Harus melalui hari-hari penuh air mata setiap bertikai dengan ayah. Berkali-kali diremehkan bahkan oleh pendamping hidupnya. Namun tak sekalipun beliau menyerah. Entah apa yang beliau harapkan di akhir kemudian. Apakah beliau bertahan karena tak ingin aku dan si bungsu hidup dengan kenyataan bahwa kedua orang tuanya berpisah? Entahlah, setiap kali ingin kutanyakan pertanyaan tersebut rasanya semua kata-kataku hilang, tersendat di tenggorokan. Tak sampai hati untuk menyampaikan pertanyaan menyakitkan tersebut. 

Bu, engkau kuat sekali. Bahkan dalam keadaan terpuruk pun engkau selalu tersenyum seakan-akan semuanya baik-baik saja. Engkau tak pernah tunjukkan betapa terlukanya batinmu, meski engkau selalu diremehkan oleh pendamping hidupmu. Engkau tegar bu, meski hatimu remuk redam. 




***



Bagi sebagian orang, cerita di atas mungkin hanyalah cerita sederhana belaka tanpa latar belakang. Namun kenyataannya di muka bumi ini banyak fenomena seperti itu, atau bahkan jauh lebih buruk. Keadaan di mana perempuan selalu dipandang sebelah mata oleh masyarakat atau keluarganya sendiri, terutama bagi perempuan yang memutuskan untuk menyandang gelar ibu rumah tangga dibanding gelar yang lain. 

Perempuan kerap sekali menjadi perbincangan soal keputusan yang ia ambil. Padahal ia memiliki hak untuk kelangsungan hidup mereka. Ketika perempuan memutuskan untuk menjalani hidup sebagai wanita karir, tak jarang ia dicecar oleh masyarakat karena menurut mereka, perempuan itu lebih baik di rumah. Sama halnya ketika perempuan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, terkadang beberapa orang atau keluarganya sendiri memandang pilihannya itu sebagai hal yang buruk. Padahal kedua pilihan di atas sangatlah baik dan sama sekali tidak merugikan. 

Menanggapi pembahasan soal ibu rumah tangga yang dipandang sebagai pekerjaan mudah dan rendah, pekerjaan ini sama sekali bukan pilihan yang mudah dan rendah. Justru ini adalah pekerjaan yang berat dan mulia. Seperti yang kita tahu bahwa ibu adalah sosok tauladan bagi anak anaknya. Bahkan bagi suatu generasi, karena ibu sendirilah yang paling mampu mengajarkan semua pelajaran hidup dan menjadi tempat pulang bagi anak anaknya. 

Kunci keberhasilan suatu generasi berawal dari didikan ibu yang baik, yang tidak mengenal kata menyerah atau putus asa. Buah yang manis berasal dari petani yang handal yang mampu mengatasi berbagai macam masalah dan memanfaatkan keuntungan yang ada. Begitupun didikan dan kasih sayang seorang ibu, sangat berperan besar bagi anaknya pada segala aspek kehidupannya. Ibu adalah sosok paling penting dalam kehidupan suatu generasi. Jangan menganggap mendidik anak itu hal yang mudah, karena sejatinya mendidik harapan bangsa adalah tugas paling berat yang akan menentukan masa depan. 

Di samping mengemban tugas seberat mendidik anak, ibu juga harus melakukan pekerjaan rumah lainnya. Pekerjaan yang membuat lelah fisik tentunya dan juga batin. Ibu harus selalu pasang badan ketika badai menerjang dan memayungi anggota keluarga meskipun ia sendiri basah kuyup. 

Ya, menjadi perempuan bukanlah hal yang mudah namun bukan juga untuk tidak diperjuangkan. 



Komentar